Artikel ini adalah bagian dari peringatan Bulan Bahasa. Sebuah upaya
untuk menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, seperti sumpah
para pemuda tahun 1928.
Sekalipun tidak ada maksud serius dan sungguh-sungguh di balik kata “ciyus”, “cungguh”, dan teman-temannya yang sedang populer saat ini, tak ada salahnya kita mencoba membahasnya dengan serius.
Bagi
yang tidak mengetahui tren bahasa gaul terkini, saya akan meringkas
dahulu. Belakangan ini, terutama di media sosial, sedang marak
penggunaan bahasa tidak baku yang berusaha membuat setiap katanya
terdengar imut dan lucu—setidaknya, maksudnya begitu.
Agak sulit
untuk merumuskan aturan dari gejala bahasa ini, yang kerap dikategorikan
ke dalam bahasa alay edisi terbaru. Tidak ada prinsip yang mutlak,
sekalipun ada pola-pola yang terlacak, seperti: substitusi “s” menjadi
“c” (“sungguh” menjadi “cungguh”); substitusi “r” menjadi “l” atau “y” (“rahasia” menjadi “lahacia”); dan reduksi huruf-huruf ( “terima kasih” menjadi “maacih”). Tetapi, kapan substitusi dan reduksi tersebut berlaku, sepenuhnya masalah insting pengguna.
Gejala
bahasa ini sebetulnya agak berbeda dengan bahasa alay edisi sebelumnya
yang cenderung merepotkan pembacanya, bahkan penggunanya sendiri.
Pola bahasa alay terdahulu, antara lain: permainan huruf besar-kecil pada satu kata (“cinta” menjadi “cInTa”); substitusi huruf menjadi angka (“sayang” menjadi “Ch4y4Nk”); dan penggunaan huruf-huruf yang jarang digunakan seperti “x”, “q”, “w”, dan “z” (“kamu mau apa” menjadi “Qm mW 4pH”), hanya memungkinkan untuk dilakukan pada tataran tulisan. Pada tataran lisan, ia kehilangan “pesona” dan praktiknya.
Ini berbeda dengan “ciyus”
dan teman-temannya yang, walaupun banyak beredar di media jejaring
sosial yang didominasi oleh tulisan, justru menjadi berarti ketika
mereka diejawantahkan ke tataran lisan. Impresi imut dan lucu—ya, saya
tahu, tidak semua menganggap ini lucu—bisa terwujud karena asosiasi kita
terhadap anak kecil polos-tembam yang cadel dan belum fasih bicara.
Ada
lagi satu perbedaan yang paling kentara dari kedua gejala bahasa
tersebut. Jika yang terdahulu banyak digunakan untuk sungguh-sungguh
mengatakan apa yang ia sampaikan, yang terbaru banyak digunakan untuk
sungguh-sungguh bercanda.
Kata “ciyus”, misalnya, membuat kata “serius” kehilangan kredibilitasnya. Pada akhirnya, kata “ciyus” tidak akan dipakai untuk menggantikan kata “serius” dalam maksud sebenarnya.
Tentu
saja setiap kata, seusil apapun asal-usulnya, mempunyai hak untuk
hidup. Namun, perjuangan setiap kata untuk dapat hidup lama bukan
perkara mudah. Seperti tuturan Samsudin Berlian, seorang pemerhati makna
kata, dalam Rubik Bahasa Kompas (8/11/03), bahwa “dalam bahasa yang
hidup, kata-kata lahir dan mati seiring dengan perkembangan dunia
pemakaiannya.”
Jika betul begitu, barangkali kita tidak perlu melempar penemu kata “ciyus”
dan teman-temannya dengan sendal jepit. Apabila kata-kata tersebut
sudah membosankan dan telah kehilangan kelucuannya, toh mereka akan mati
dengan sendirinya. Cungguh.
Jumat, 26 Oktober 2012
Tentang “Miapah” dan Hal-hal “Ciyus” Lainnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar